SIAPA KITA???
amadtattoo


 
SILENT IN ABSURDITY
tentang sesuatu  
  HOMELAND
  MANIFESTO
  DIAM
  Log Off -->Smart-1
  NGAWUR!!!
  TA PROJECT
  => BAB I
  => BAB II
  => BAB III
  PAINTING OF ABSURDITY
  TA ERROR REPORT
  would you come in???
  Guestbook
  Pro: Setyo Budi, M.Sn.
  SOLILOKUI
  MAJALAH MASALAH
  KOLONG
  Bukan Bulan Rembulan
  EXPIRED
  TIDAK HARUS DENGAN AMARAH
  PAINTING OF ABSURDITY #2
copyright ahmedium//SYAWAL 2009
BAB III

BAB III

 

Alam khyali sering disebut juga sebagai narasumber atas ide-ide. Namun tidak bisa disangkal lagi, kini kebenaran intuisi telah dimasukkan dalam kebenaran ilmiah.

--------------------

         Jika karya terlalu banyak bicara mungkin ia hanya akan menjadi bibir yang berkata, sekedar untuk didengar kemudian selesai. Sesungguhnya sebuah proses penciptaan adalah bagaimana cara menahan diri dari godaan akan keberfungian pada akhirnya. Semua tak harus jelas, sebab yang tersembunyi pun bukan berarti tak mampu berwawansabda. Dalam kediriannya yang terlindungi oleh prosesi membatasi diri, sebenarnya ia telah mengantar kepada dunia yang luas, yang terjangkau oleh nalar. Justru karya absurd lah yang tidak membelenggu. Tidak memenjarakan estetika pada mata, melainkan mengembalikan semuanya kepada kejujuran, sekaligus kerterbatasan yang disengaja. Mungkinkah ketersamaran dapat ditembus oleh keterbukaan? Saya rasa tidaklah mungkin matahari mampu menjelaskan kegelapan malam, justru keremangan rembulan yang mampu mengurai kegetiran gelap, kegelisahan malam, mewakili durjana tersembunyi yang bermuram durja. Samar malamlah yang mampu menunjukkan jalan terang, ke arah matahari.

Seni abstrak dalam artian yang paling murni adalah ciptaan-ciptaan yang terdiri dari susunan garis, bentuk dan warna yang sama sekali terbatas dari ilusi atas bentuk-bentuk di alam.

 

Dalam kesendirian yang tak terkatakan, yang ‘diam dalam absurditas’ masih tetap peduli untuk sekedar mencari kawan, perbincangan adalah kesunyian,  bergerak dalam ke-diam-an. Savoir-vivre (seni hidup) harus lebih tinggi daripada savoir-faire (seni melakukan sesuatu), dan dalam kondisi itu yang ‘diam dalam absurditas’ harus menjadi un grand vivant (manusia yang sungguh mengerti tentang seni hidup). Dalam hal memaknai, yang ‘diam dalam absurditas’ akan terus memperjuangkan nilai dalam pengertiannya yang paling transendental. Sebuah upaya pencerahan jiwa yang tengah mengerjakan kehidupan sebagai sebuah kejujuran menilai diri.

Kesendirian, ketika semua berada dalam diam, ‘diam dalam absurditas’ adalah rangkaian rel menuju sebuah ketakutan. Pemisahan, seperti tercabik. Humanisme yang sediakala lengkap dengan nuansa bumi, yang berkelok tajam tetapi tidak melupakan kemesraan, tiba-tiba dengan eskalasi tertentu menjadi labirin bahkan lorong yang semua dindingnya serba gelap, sehingga merah menjadi "warna" paling lembut. "Ih ngeri amat!!", begitulah refleksi "keawaman" menyatakan diri sebagai sebuah apresiasi humanis terhadap kediaman ini.

Langkisau itu mengerucut, seperti piramida, kefahaman akan diam menuju pada ‘nyaris yakin’ bahwa ketakutan benar-benar ada pada kancah kediaman. Garis batas absolut adalah manusia vertikal, yang menghadap langit, dengan demikian proyeksi yakin akhirnya akan memberi bentuk terhadap bayangan yang wujudnya bergantung dari mana datangnya arah cahaya. Ketersamaran itu ditembus, dalam kediaman ini tentunya segala kata tetap dibekukan oleh keyakinan bahwa "takut" tidak lagi samsara, ia luas tetapi masih dalam jangkauan. Hal itu merupakan pembuktian bahwa asal-usul cahaya merupakan faktor krusial dalam pembentukan keyakinan dalam proses memahami.

Jika merunut pada kewajaran, tentunya segala hal harus ditutup dengan keselesaian. Selesai dalam hal ini sangat dipastikan akan menuntut, berbau menyarankan agar semuanya masih baik adanya. Dalam dimensi ketakutan, “bersembunyi” berada dibawah pembelaan teori maklum, ‘agar baik adanya’, ungkapan itu dikatakan dengan senyum yang tidak jelas, cenderung multitafsir. Dalam wilayah absurditas, ketakutan merupakan aksen diri yang menjadi realitas. Sebuah mutasi dari cara pandang ataupun pemikiran. Menjumpai keterbalikan tepat di dalam diri. Haruskah ‘pembunuhan diri logis’ menjadi jalan keluar?. Jawaban sekaligus pertanyaan, wujud inilah ketakutan paling tua dalam sejarah pemikiran manusia.

Kejatuhan yang banyak dialami kaum spiritualis yang terminologi keimanannya masih berada di bumi, dengan silih bergantinya malam dan siang sebagai penunjuk waktu, terbitnya fajar dialami sebagai hari esok. Hal ini menyebabkan kepasrahannya akan mengandung makna merongrong. Berbeda  dengan manusia yang terminologi imannya sudah di matahari, pergantian siang dan malam hanya semu belaka, karena matahari tidak pernah tidak terang terus, mengefeknya akan terasa lebih pada penyerahan, bukan sekedar kepasrahan, tidak lagi menuntut lebih, meskipun hanya sekedar pengurangan. Laksana  negosiasi do'a, kejatuhan itulah yang dilanda para spiritualis bumi. Upaya  pendalaman yang keliru, arusnya justru akan naik kembali pada hulu renungan. Bagaimana  akan menjadi samudra jika tidak bisa cair? Toh  kepastian itu adalah kembali pada cinta abadi, kematian yang hidup menuju kemahahidupan.

Kediaman  absurd adalah kata lain dari terminologi matahari, bahkan langit. Wawansabda  yang sendiri. Adalah  tidak perlu memahami diri untuk memahami yang lain, selayaknya harus dibalik. Ketidakterikatan  adalah sketsa paling mendasar untuk sebuah ciptaan tanpa hari esok, kreasi absurd. Segala dimensi meluruh, membumi menjadi satu jarak pandang. Hidup dalam keluasan yang difahami sebagai keterbatasan, dialami sebagai jembatan, seterusnya. Sejatinya semua pergi untuk kembali, pulang pada manisfestasi kesementaraan.

Upaya-upaya pencerahan yang banyak dilakukan manusia, pengembaraan yang pekat dengan aroma perburuan, memunculkan fenomena-fenomena yang variatif. Hal ini menjadi penting jika dikaji dari sisi-sisi humanis. Perjalanan paling sepi, sepanjang jarak tempuh menuju sesuatu yang bisa dikatakan dasar tanpa puncak. Istilah ini serasa telah begitu sering dirasakan oleh indera. Bagaimana bisa menolak dan menghindar jika ternyata atap dari berbagai ruang yang dijelajahi tenyata adalah jantung kita sendiri.

Ribuan putaran yang menghasilkan ribuan rute pula. Ribuan rute yang melewati ribuan cirarasa pula. Ribuan citarasa yang menyuguhkan ribuan penilaian pula. Demikian luasnya pengetahuan harus dipaksa mengamati dengan kecermatan yang tidak dibolehkan untuk mengawali segala sesuatunya dengan justifikasi. Renungan menjadi terasa getir, begitulah pengembaraan akan terus berbicara membuka ruang-ruangnya sebagai sebuah penyambutan bagi para tamu yang datang.

 

 

 

 

 

KONTRIBUSI ABSURDITAS

Beralih pada perihal fungsi. Banyaknya pemikiran yang bergulir, menyodorkan ragam definisi. Diskursus bersemi seperti jamur di musim hujan. Ramai dan tak terkendali. Solusi menjadi sulit ditempuh. Penyederhanaan tidak lagi mudah dijumpai, dalam berbagai hal. Ke-instan-an yang cenderung meninggalkan langit. Menuju kedataran bumi yang telah dianggap dalam. Kesulitan adalah jurang yang harus disingkiri, disanalah wacana kejatuhan  bergema.

Ternyata ada fihak yang bisa disalahkan atas ini semua. Para-para yang bersifat informatif, cenderung hanya memeriahkan warna, tetapi tidak dengan kontribusi. Konyol. Resolusi justru desembunyikan di sela gegap gempita wacana-wacana.

Manusia yang belajarpun tanpa sadar telah juga belajar memihak. Tidak ada kebebasan absolut bagi manusia. Logika tidak akan pernah sampai pada kematian. Batas pemikiran manusia sudah begitu jelasnya, sehingga jelas pula apa-apa yang tidak akan sanggup dipikirkan, namun mereka cenderung meloncati ketidakmampuan itu dengan kelitan empirik dan rasio, berbohong. Fantasi ilmu pengetahuan. Bagi yang sedang mencari, anasir itu akan begitu impulsif untuk dijadikan kiblat. Perbaruan iman yang fantastis keliru.

Kembali pada diri, pulang pada kesendirian, mencermati ulang kediaman. Kesia-siaan itu berguna dan kesia-siaan itu kekeliruan. Apakah yang seharusnya dinilai kembali atas perjalanan-perjalanan diri? Hal itu bukan pertanyaan melainkan peringatan yang pasti, itulah wawansabda yang sendiri, renungan yang mandiri di atas sifat kekenak-kanakan pola pikir yang sulit hilang, sebenarnya.

Kronologi ketakutan menjadi jelas bahwa dengan diamlah ketakutan itu ada, dan salah satu kepastian adalah manusia merupakan elemen dari diam, sebab kebergerakan itu sudah pasti hidup, sedang keberadaan roh adalah abadi. Yang harus diingat adalah sejauh mana kesadaran mampu membaca kapan datangnya kediaman. Kemahiran mengestimasi psikis, dalam rangka penciptaan ‘immunity to disease’. Di simpangan itulah cita rasa manusia akan seperti digilas, karena takut bukan lagi tidak berani, dan berani bukan berarti tidak takut. Sialnya, dalam teritorial "angker" itu segala jawaban akan menjadi pertanyaan yang membutuhkan jawaban,  seterusnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Seni :

Hak dan Kewajibannya                                         

( Esensi  karya Absurd )

 

 

Manusia hidup tidak tanpa arah. Ia memiliki tujuan-tujuan tertentu. Ia ditakdirkan mampu memilih dan menentukan tujuan hidupnya sendiri. Tidak hanya itu, ia bahkan mampu membuat alat dan menyediakan sarana yang memudahkan mereka mencapai tujuan-tujuannya. Segala tujuan dan cita manusia sangat dimungkinkan teraih karena topangan kapasitas manusiawinya: intelejensi. Karena itulah manusia disebut homo sapiens sekaligus homo faber. Sebutan pertama kali mewakili kemampuan menusia untuk berbahasa: melakukan tindak ujaran-berbicara, berkata-kata dan tindak tulisan. Sebutan yang kedua, menunjukkan kapasitas mental dan kemampuan untuk mencipta tidak hanya alat-alat praktis teknis, tetapi juga kuasa membuat kreasi-kreasi artistic. Artistic identik dengan seni, karena itu manusia sering disebut manusia berkesenian.

Alam mayapada menjadi objek dan inspirasi utama bagi manusia untuk berkesenian. Oleh karena itu, adalah sesuatu yang alami jika manusia, dalam menciptakan karya-karya seninya, acapkali meniru-niru alam. Dari kacamata spiritual, hal itu terjadi karena manusia pada hakikatnya “tercipta dari citra Tuhan”. Dengan demikian, sebagaimana Tuhan Maha Pencipta, manusia pun memiliki kapasitas dan hak untuk menciptakan. Tetapi bukanlah sesuatu yang alamiah jika manusia hendak meniru-niru alam secara total dengan maksud menyamai hasil kreasi-Nya, karena memang ia tidak akan mampu melakukanya. Manusia hanyalah manusia, bukan Tuhan.

Inilah yang diabaikan oleh mereka seniman naturalis dari aliran seni naturalisme yang kerap mengaku-aku karya seni mereka, terutama seni rupa dalam bentuk patung dan lukisan manusia paling estetik dan naturalistic(alamiah). Mereka berkeinginan kuat untuk meniru-niru makhluk hidup secara mutlak, seutuhnya padahal mereka tidak mampu untuk melakukanya. Maka pada akhirnya mereka hanya mencapai satu titik mati dimana karya mereka menjadi suatu yang tidak berguna dan tidak lagi memiliki nilai spiritual dan jauh dari kesesuaian dengan konteks spiritual manapun. Inilah sebuah dosa karena mereka menginginkan apa yang sesungguhnya tidak dapat dipenuhi. Seniman naturalis dengan lukisan, dan patung-patung manusia sangat terobsesi untuk menyamai Tuhan. Jelas-jelas mereka tidak akan mampu melakukanya karena mereka tidak dapat menghidupkan tubuh-tubuh yang membutuhkan nyawa.

Seni bukan hal yang sembarangan. Ia tidak sekedar karya lukisan, patung, gambar yang bergerak. Mereka tidak semata benda mati yang fungsi estetiknya an-sich. Lebih dari itu, seni memiliki fungsi magis dan spiritual sekaligus. Dalam fungsi magisnya, seni mempersembahkan prinsip-prinsip, kekuatan dan segala sesuatu yang menarik dan simpatik secara ‘magis’. Dalam fungsi spiritualnya, dari sudut pandang dimensi batin, seni menampilkan kebenaran dan keindahan. Prinsip ini memanifestasi dan manifestasi ini akan kembali menjadi prinsip. Dengan kata lain, ‘aku’ kembali pada diriku. Dengannya, jiwa manusia dapat -melalui fenomena tertentu- berhubungan dengan model-model ketuhanan, yaitu memungkinkanya berhubungan dengan modelnya sendiri.

Dalam pengalaman-pengalaman vital dan produksi-produksi artistic, kita akan merasakan dikabulkanya do’a oleh Tuhan karena rasa spiritual dan nuansa sakral  yang kita pertahankan. Sebaliknya, dalam seni naturalistic total, yang mengabaikan proses kreatif dengan do’a, tidak ada sesuatu yang spiritual, tidak ada yang sakral, dan dengan demikian tidak lagi memiliki cahaya. Adalah benar bahwa isi dari sebuah karya naturalistic mungkin memiliki efek kedalaman, tetapi “dalam” hanya dalam modelnyalah yang memiliki efek, bukan karyanya. Kontradiksi naturalistic antara penampakan lahiriah dengan kesia-sian materinya jelas akan mengaburkan pesan yang ingin disampaikanya.

Tetapi ada satu hal lain yang harus diakui bahwa ide naturalisme akan lebih terasa longgar jika ia tidak mengekspresikan sesuatu yang isi dan sifatnya tidak berlebih-lebihan belaka dan mulai mengarahkan dirinya pada kecenderungan yang sah dan logis. Ketika satu karya seni mencoba meniru-niru alam dengan mengobservasi prinsip-prinsip tertentu, melacak apa yang esensial, dan menginvestigasi apa yang bukan atau apa yang aksidental, maka karya seni layak disebut naturalistic asalkan ia tidak lagi melakukan kesalahan-kesalahan seperti yang diperbuat oleh naturalisme total. Sebuah karya seni disebut valid bukan karena ia berhasil menjiplak alam, tetapi lebih karena ia menerjemahkan apa yang ia pahami kedalam satu bahasa yang baru. Di sisi lain, sebuah karya seni disebut valid jika ia menunjukkan perhatianya yang mendalam terhadap apa saja atau segala apa pun, bukan hanya lukisan wanita yang menonjolkan aspek sensualnya belaka. Selain itu, kevalidan sebuah karya seni dibenarkan jika ia menampilkan dirinya sebagai produksi manusia asli, hasil imajinasi, kontemplasi, dan bukan semata meniru-niru alam.

*    *     *

 

Mari kita sejenak meninggalkan problematika naturalisme. Sekarang kita beralih pada sebuah persoalan yang seringkali terjadi dalam seni modern, khususnya seni sastra. Sastra ditulis oleh seorang pengarang dengan menggunakan sejumlah perbendaharaan kosakata tertentu. Salah satu persoalanya terjadi manakala pengarang menggunakan terlalu banyak kata-kata sehingga terkesan berlebih-lebihan. Pengungkapan bahasanya serasa dipaksakan, sangat jauh dari inti tulisan, mengaburkan pesan, hingga seolah tidak ada lagi makna yang tersisa didalamnya. Tendensi semacam ini tampak hampir merata muncul disemua seni modern, termasuk didalamnya puisi dan musik. Lagi-lagi, disini terjadi kelemahan pada instink pengorbanannya, pudarnya ketenangan dan hilangnya pengendalian diri. Sang pengarang terlalu mengosongkan diri, hampir kandas. Dengan melakukan hal ini, ia sama saja dengan mengundang orang lain untuk juga mengosongkan diri mereka. dengan demikian, yang terjadi akhirnya adalah hilangnya segala yang esensial, musnahnya pemahaman terhadap “rahasia” dan menguapnya pemahaman terhadap dimensi bathin. Padahal sebuah karya seni akan memiliki nilai estetik yang sejati jika terhadapnya dilakukan interiorisasi yang kontlempatif dan unitif. Dengan kata lain, kesejatian sebuah karya seni akan muncul dengan menggali kedalaman batin si seniman melalui permenungan yang akan memadukanya dengan Yang Maha Estetik.

Barangkakali secara sederhana bisa dikatakan bahwa dikalangan para seniman tradisional, unsure ‘objek’ lah yang menentukan karya, sedangkan dikalangan sebagian besar kalangan seniman modern, unsur ‘subjek’ lah yang paling menentukan. Ini bahwa berarti seniman modern -dengan sifat individualistiknya- berusaha untuk -menciptakan- karya, dan dalam menciptakanya, berkeinginan untuk mengekspresikan kepribadian profane yang membatasi mereka, yakni ambisi dan dan pencarian akan kesejatian. Seniman nonmodern juga, dengan fitrah alamiahnya, mampu mengekspresikan kepribadianya, tetapi mereka melakukanya “melalui” dan “didalam” pencarianya terhadap objek. (Hasilnya kemudian disebut seni objektif?). sebaliknya seniman modern -maksudnya “modernistic”- juga asyik dengan objek, tetapi diposisikan dalam ‘kerangka’ dan dalam kepentingan subjetivismenya. (Hasilnya kemudian disebut seni subjektif?). akibatnya, seorang seniman bukan lagi harus belajar ‘menggambar’, tetapi ia harus belajar ‘menciptakan’. Inilah sebuah dunia yang terbalik, yang atas dibawahnya, yang bawah diataskan.

Menarik diperhatikan bahwa dalam seni ekstra trdisional, satu karya yang diakui, yang bisa menjadi karya master pieces, pasti selalu disertai dengan gaya yang meniadakan makna, atau paling tidak, suatu karya yang bersifat subversive. Karya-karya dengan gaya dan sifat di atas acapkali muncul dari pengarang dengan karakter yang sama. Inilah harga yang harus dibayar sebagai akibat dan pengaruh dari kebebasan dan dari tidak berperanya kebenaran, kesalehan dan disiplin yang berlandaskan dasar-dasar spiritual. Tidak diragukan lagi, inilah drama ‘budaya’ modern dengan segala wujudnya, karena memang sudah seperti itu sejak awal. Jika  budaya modern ini tetap diragukan maka bersiaplah, ia pasti akan berakhir pada penghancuran diri sendiri. Satu  dari akar-akar kehancuran yang paling utama adalah karena dipeliharanya kontradikasi antara hak-hak yang diklaimnya dan kewajiban-kewajiban yang diabaikannya. Iconophobia  semitic agaknya secara implisit  lebih menyadarinya, walaupun motivasi dasarnya adalah bahaya pemberhalaan. Bahaya pemberhalaan seperti itu, terdapat pula dalam perilaku pemujaan terhadap kecerdasan pikiran, penalaran dan budaya.

Adalah penting untuk membedakan antara pemberhalaan yang objektif dan subjektif. Yang pertama merupakan sebuah penggambaran yang keliru, karena mengatasnamakan Tuhan, sedangkan yang kedua, penggambaran yang berhubungan dengan seni yang sakral dan kurang bersifat kontemplatif sehingga menyebabkan terjadinya pemberhalaan. Hal itu terjadi karena manusia tidak lagi tahu bagaimana memahami transparansi metafisik dari fenomena yang ada di sekitar mereka, dari gambar-gambar dan dari simbol-simbol, semua itu menuntunnya menjadi seorang musyrik.

 

 

 

 

 

Kesimpulan

 

Kesenian adalah tradisi. Perlu diketahui definisi tradisi disini adalah merunut pada sebuah fenomena, dimana proses desakralisasi terhadap pengetahuan semakin menjadi-jadi. Penemuan kembali terhadap tradisi merupakan kompensasi kosmis terhadap proses desakralisasi pengetahuan tersebut, sebuah karunia Empyrean Illahi, yang dengan rahmatNya dimungkinkan  -saat dimana kita semua tampak sudah tenggelam- penegasan kembali terhadap Kesejatian ( Truth ) yang menjadi hakikat dan esensi inti tradisi. Formulasi-formulai dari sudut pandang tradisional merupakan respons dari “Yang Sakral” yang merupakan alfa omeganya eksistensi manusia, terhadap elegi manusia modern yang tersesat dalam sebuah dunia yang telah kehabisan nilai sakralnya, yang karenanya nampak kehilangan sebuah makna.

 

****

 

 

 

GILDA ASTENIA publising  
   
amadtattoo 
 
amadtattoo

AHMAD JUNAIDI lahir besar di sukoharjo, 01 januari 84 kebetulan, kita orang miskin boss. hidup dari harapan. dan keinginan untuk maju. dan jujur.... fatalis itulah kawan setia ku!!!!
 
hobi & kerja  
  ngrobek buku apa saja, juga mancing!!!
...
wuh keren, kemarin dapat lele+nila...

cari uang dari apa aja yang halal.
OFFICE BOY IS MY LIFE

-----

ampun pak dosen ampun pak rektor jangan disulitkan dispensasiku, telat mbayar ini.....wekekekeke.......andai saja virus itu laku dijual, dan andai saja aku seorang PENJAHAT!!! hik hikhik....(dibaca seperti orang nangis)
-----------------------
INGINNYA CEPET LULUS
===================
lha wong estimasi ternyata meleset set set set...!!!
 
UP TO DATE TUAN...NYONYA...  
  :semoga nyala yang ada dalam dada ini tetap ada, nyala petarung!!! kehalusan dalam membunuh, karena mereka memang lah musuh-musuhku!!!!
====================================================
ternyata dalam rasi bintang layang-layang pada jam 3 dini hari kutemukan air mataku kembali....
kawan-kawan..kalianlah yang terbaik!!!!!
=====================================================
SSSSSSSSSSSSSSSSSStttttttttttttttttt....
ada yang lain tapinya.....EDENSOR!!!!!!
=====================================================
hi...AULIA......(ah hari ini kau bukan sesuatu yang pantas kuberi tepukan.....)
i want to know you..

untuk bisa lebih mengerti tentang......siapa kita...
thanks and sorry
========================

ada yang salah faham. sial!!!!!!!!!! but, i don't care about thatt!!! not my false...........
=========================
for Tokyo: PAk Bos (hari gendur) nanti pulang aku jadi karyawanmu wae

============================

hi............
wah ah ah ah ah, situ kuliah dapat apa, pelajaran tak mengajari kita jadi pintar, SIAL kalian tertipu identitas murahan. mahasiswa!!!! mereka bukan siapa, mereka hanya suka mengembik minta uang pada ortu, kemudian dipakai pacaran. anjing!!!! setiap ada kesalahan mereka berbondong turun ke jalan seperti pahlawan, tapi mereka lupa bahawa hidup adalah harus DIKERJAKAN!!!!! pura-pura jadi seniman, satrawan, budayawan, orang sopan, cik...lidah mereka pakai topeng. kemarin kulihat seorang suami melindungin istri dan anaknya dari orang jahat!!! dialah PAHLAWAN itu, sedang mereka yang mengaku sekolah tinggi .... siapa yang mereka lindungi????????????? KONYOLLLLL!!!

========================================

apa benar kita akan sampai pada apa yang kita ingini? Ah rasanya tidak!! terbentur pada persolan "ternyata aku menyukainya....". what we have to DO? mampus, aku tak punya fee sama sekali hari ini. dia bilang ia lapar, ampuuuuuun. aku tidak bisa membahagiakanmu.....terus IBUNDA tercinta? BEliau dirumah menungguku, menunggu ksatrianya pulang. YA, aku tak mamu SUSU ANLENE GOLD untuk ibuku berubah jadi sepotong roti cinta untuk manusia wanita seperti yang (sebertulnya ingin kumiliki).........ah KONYOL.
==================================
WAHAHAHA............
AKU MABUK LAGI!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
ADA CODING GILA!!!!
=====================================
Pro: Pak Budi, S.Sn, M.Sn.
ada banyak terima kasih yang harus saya sampaikan.
dan kukira aku tak mampu mengatakannya.
scizofrenia, hal itu telah membunuhku.

==================================

To: Tokyo (Harry San)

Im waiting for NOTEBOOK..
I always dream it at all breath.....

=================================

DALAM PADA INI.
adalah sesuatu yang tengah bertanya, apakah?
kalaupun perjalanan itu, menjadi sebaris pertanyaan,
apakah iya segala sesuatu harus mesti dijawab.
TIDAK.
kebosanan terlalu akut dan meradang.
siapa engkau, siapa saya, siapa mereka, siapa yang kau ingini?
aku terbahak.
orang tolol mengemudikan sebuah hal.
mereka beri nama "cinta"!!!
anjing, aku tak bisa menerima.
sebab diriku terlampau kaku akan hasrat berduaan,
bakar saja kertas dan semua puisimu, tentang yang kau namai cinta!!!!!
sebab mataku terlanjur tak mampu melihat lagi kata itu!!!!
====================================================
 
sekolah  
  SMU NEGERI SATU KOTAKU
but, persetan dengan kesenian dan kebuadayaan
mereka hanya mengeksploitasi kesedihan dan peperangan, kemudian dijadikan jadi karya....sial, mereka kejam.
==============================
ada banjir, kemudian mereka memotretnya lewat kamera dan ingatan. lalu, berbondong-bondong orang pameran. menyuguhkan kesedihan. ANJING~
===============================
TA (tanpa akhir)
antara hidup dan mati. viva omong kosong!!!!
 
Today, there have been 13 visitors (16 hits) on this page!
WE NEVER KNOW TILL WE LOOKING FOR... This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free