SIAPA KITA???
amadtattoo


 
SILENT IN ABSURDITY
tentang sesuatu  
  HOMELAND
  MANIFESTO
  DIAM
  Log Off -->Smart-1
  NGAWUR!!!
  TA PROJECT
  => BAB I
  => BAB II
  => BAB III
  PAINTING OF ABSURDITY
  TA ERROR REPORT
  would you come in???
  Guestbook
  Pro: Setyo Budi, M.Sn.
  SOLILOKUI
  MAJALAH MASALAH
  KOLONG
  Bukan Bulan Rembulan
  EXPIRED
  TIDAK HARUS DENGAN AMARAH
  PAINTING OF ABSURDITY #2
copyright ahmedium//SYAWAL 2009
BAB II

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.     ABSURDITAS

 

Fenomena absurd bukanlah sebuah kebetulan yang terjadi dalam pribadi seseorang. Paradigma absurd dalam pengertiannya yang baik bisa terlahir atau dilahirkan dengan sengaja. Meskipun faktor eksternal cukup mempunyai pengaruh yang signifikan atas terbentuknya absurditas dalam diri. Perbaikan pemahaman atas diri dengan menggunakan pengalaman yang telah terekam dengan seksama dapat mencipta sebuah analisa yang pada akhirnya mampu menggugah keberadaan emosi ketika ia tengah dibangun. Dengan menggunakan tahapan yang telah dikemukakan oleh  Herbert Spiegelberg (1965), meliputi:

1.            Mengintuisi (Intuiting)

         Pengalaman atau memanggil kembali fenomena; ”mempertahankan”nya dalam kesadaran Anda, atau hidup di dalamnya, tercakup di dalamnya, tinggal di dalam atau di atasnya.

2.            Menganalisi (Analyzing)

         Menguji fenomenon; mencari apa yang menghiasinya, bagaimana ia bisa berelasi dengan sekelilingnya, bagaimana dinamikanya, dan utamanya bagaimana esensinya.

3.            Menggambarkan (Decribing)

Tulis deskripsi Anda; bimbing pembaca Anda melalui intuisi dan analisis Anda.

Pada dataran yang lebih tinggi lagi, tataran “arupadhatu” Tanpa Bentuk, yang digambarkan dengan teras-teras yang letaknya di bagian candi paling atas, maka masa lalu, masa kini, dan mas datang, akhirnya lebur dalam satu konsep Eksistensi yang sepenuhnya abstrak. Waktu dan Ruang menjadi satu Kehampaan misterius. “Ageless is equally Absoluteness”, “Nir-Usia” sama dengan “Kemutlakan”. Bersama dengan bentuk dan relativitas, konsep seperti waktu dan ruang ditinggalkan. Dengan demikian Borobudur sendiri menampilkan diri sebagai ”Sang Nir-Usia”, terutama pada tataran semantik yang sangat subtil. (P.Swantoro, 2002:104)

Rasio bukan hanya kesadaran murni, melainkan juga kehendak untuk menjadi rasional. ”Hubungan paradigmatik selalu sesuai dengan aturan sintagmatiknya sebagaimana sebuah garis x dan y dalam sebuah system koordinat” (Paul Cobley dan Liza Jansz)

Menurut Marx, ”kondisi eksistensi manusia yang independen dari segala bentuk masyarakat suatu keniscayaan yang abadi dari alam untuk memperantarai pertukaran material antara manusia dan alam, dngan kata lain kehidupan manusiawi”. Berbeda dengan hewan yang masih ”tenggelam” di dalam alam  manusia telah ”mengatasi” alam.

Termodinamika non-keseimbangan atau jauh-dari keseimbangan (far-from-equilibrium) berlawanan dengan sisi yang lebih umum dari Termodinamika keseimbangan dalam tiga hal: Pertama, dan mungkin yang paling mencolok  adalah jika dalam Termodinamika keseimbangan sebuah sistem reaksi harus berlangsung tanpa menampakkan perubahan mikroskopi yang teramati; sedangkan menurut Termodinamika non-keseimbangan – sesusai dengan namanya – sebuah reaksi justru harus menampakkan keseimbangan sebuah sistem yang telah ditentukan (dibatasi) terisolasi dari sistem-sistem yang juga telah ditentukan; sementara dalam kondisi non-keseimbangan sistem-sistem yang telah ditentukan akan dapat saling bertukar massa-energi. Dan ketiga, skenario non-keseimbangan bekerja di bawah mekanisme kontrol yang secara internal mampu melakukan self reffrential, yang dikenal dengan “pemusnahan umpan balik” (feedback inhibition) di mana hal ini tidak akan dijumpai pada kondisi yang seimbang.

Tranformasi mikroskopis berdasarkan nilai kepemilikan terhadap sumber daya lingkungan yang hanya dapat dilakukan dengan kedisiplinan yang bersifat membei dan menerima secara mendalam, barangkali merupakan deskripsi paling tepat terhadap praktek-praktek mistiko-spiritual. Dan untuk menerima ini sebagai justifikasi kesesuaian antara modus operandi Filsafat Parennial dengan proses alam evolutif, kita harus dapat menunjukkan bahwa kehidupan manusia secara alamiah berlangsung di bawah kondisi-kondisi yang jauh dari keseimbangan, tidak hanya dalam tataran emosional, mental maupun spiritual, (pernyataan yang di permukaannya sudah tampak tidak perlu lagi perjelasan terhadap konstruk-konstruk pembuktian) namun juga dalam level fisikal. Dengan demikian, diperlukan juga penjelasan proses-proses bio-kimiawi. Cukup banyak diketahui bahwa perkembangan tubuh manusia berdasarkan pada peta gen terletak di dalam kromosom. Gen-gen tersebut tesusun dari rantai polimer yang dikenal dengan DNA (Deoxyribonucleicacid). Penerjemahan terhadap kode-kode DNA akan menghasilkan penyusunan protein dan enzim yang dibutuhkan bagi fungsi kehidupan manusia. Cukup menarik juga, beberapa enzim yang diproduksi tersebut merupakan unsur wajib yang harus ada pada proses penerjemahan kode-kode DNA itu sendiri (misalnya, DNA endonukcease dan DNA legase). Lebih lanjut, untuk mendorong produksi enzim dan protein tersebut diperlukan juga tambahan “notrien-notrien” dari luar faktori ribosomal (berupa: ATP, adenosin triphosphat) yang dihasilkan dari intensifikasi energi sebagai akibat proses penerjemahan DNA.

Uraian singkat tersebut sudah cukup untuk menunjukkan bahwa manusia, secara esensial, adalah struktur-struktur yang secara bio-kimia berada dalam kondisi non-keseimbangan, sesuai dengan sifat-sifat yang sudah kita kemukakan: Pertama, adanya perubahan-perubahan mikroskopik yang tampak ditunjukkan oleh adanya sintesis-sintesis protein.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. AKU DAN DIAM

 

Aku dilahirkan dari rasa catatan-catatan yang hidup. Aku adalah yang memadukan catatan-catatan, tetapi aku demikian adalah juga budak catatan-catatan. Aku hidup dalam berbagai ukuran. Dalam ukuran kesatu, aku hidup reseptif seperti tumbuhan atau bayi. Dalam ukuran kedua aku hidup afektif seperti hewan atau anak-anak. Dalam ukuran ketiga aku hidup individual seperti remaja menjadikan dirinya pusat perhatian. Dalam ukuran keempat, aku hidup mentransenden yang sering disebut sebagai transendental self, atau oleh Junk disebut pula sebagai un-discovered self. Dengan demikian rasa aku pun berkembang dari aku yang hanya bisa bergerak acak menjadi aku yang bergerak menurut rasa.  Sesuai dengna kenyataan lingkungan akhirnya menembus menjadi aku tanpa ciri. Egoisme serta egosentris dalam perkembangan aku ini mengalami perubahan fungsi dan struktur, bermanfaat untuk menunjang tumbuhnya aku tanpa ciri. Namun demikian egosentrisme bisa tetap saja hidup laten sebagai atavisme (penjelmaan binatang anonim). Pemilihan antara aku subjek dengan aku objek tidaklah bersifat ontologis, tetapi fungsional sebagaimana nampak dalam konsep tentang rasa. Aku merasa subjek karena ia selalu melakukan hubungan dengan objek intensionalitasnya.

(Darmanto Jatman,  2000)

Dimensi manusia meliputi jasmani dan rohani. Dalam bahasa khasnya manusia sering disebut (aku) sebagai antropina, maksudnya itu merupakan aku yang memiliki ciri-ciri jasmani dan rohani. Yang mau dikatakan disini bahwa aku itu berevolusi serentak secara fisiologik (jasmani dan sosiogenetik [evolusi rohani]). Dengan kata lain, manusia yang lahir secara fisiologik prematur, artinya masih dengan kelemahan-kelemahannya itu justru karena kelemahan-kelemahannya itu manusia melakukan kompensasi-kompensasi yang menjadi kelebihan-kelebihannya, yaitu mempunyai posisi tegak, berkemampuan bahasa, berpikir, dan bertindak secara intelektual

Aku (manusia) sebagai eksistensi adalah aku yang dilihat manusia sejauh dilihat sebagai yang berada di dunia bersama dengan manusia lain. Bagaimana manusia berada? Ia bereksistensi sebagai aku dalam hubungannya dengan orang lain, dalam sebuah komunikasi intersubjektivitas. Dalam komunikasi itu manusia menghayati hidupnya dan mengolah dunia bersama-sama yang lain hingga menjadi “lebenswelt” (dunia yang bisa, pantas didiami). Ternyata ia tidak sendirian, tetapi berada bersama dengan aku-aku yang lain. Inilah ”mitwelt” atau ”ada bersama” dari manusia-manusia.

Menurut Descartes, manusia adalah aku atau substansi yang berpikir. Ciri ini disebut ciri ontologis yaitu kemampuan manusia untuk mengambil jarak dari alam dan diri sendiri sehingga mampu menyadari diri sendiri (substansi). Ini konsekuensi logis dari ”Cogito ergo Sum” (saya berpikir maka saya ada). Disini titik beratnya pada segi berpikir, rohani dan kesadaran dari si aku (manusia). Maka, aku dipahami sebagai sustansi kesadaran atau pemikiran.

Dalam ranah psikologisnya manusia dikenal memiliki dua alam, yakni alam sadar (conscious mind) dan alam bawah sadar (unconscious mind). Alam sadar adalah apa yang Anda sadari pada saat-saat tertentu, penginderaan langsung, ingatan, pemikiran, fantasi, dan perasaan yang Anda miliki. Terkait dengan alam sadar ini adalah apa yang dinamakan Freud dengan alam pra-sadar, yaitu apa yang kita sebut saat ini dengan ”kenangan yang tersedia” (available memory), yaitu segala sesuatu yang dengan mudah dipanggil ke alam sadar.

Sedang bagian terbesarnya adalah alam bawah sadar (unconscious mind). Bagian ini mencakup segala sesuatu yang sangat sulit dibawa ke alam sadar, termasuk segala sesuatu yang memang asalnya alam bawah sadar, seperti nafsu dan insting kita serta segala sesuatu yang masuk ke sana karena kita tidak mampu menjangkaunya, seperti kenangan atau emosi-emosi yang terkait dengan trauma.

Dari sinilah problematika absurd itu mulai menga-ada dalam kedirian manusia, sehingga ada sebagian manusia yang sengaja berdiam dalam absurditas untuk mencapai suatu hal, yang kulminasi akhir yang diharapakan adalah kenyamanan hidup yang jauh dari kekacauan dinamika zaman dengan segala persoalannya.

Teori Freud yang paling masyur tentang hal ini adalah tentang Id, Ego dan Superego.

1.      Id  

ketika manusia lahir, sistem sarafnya hanya sedikit lebih baik dari binatang, itulah yang dinamakan Id, bertugas menerjemahkan kebudayaan satu organisme menjadi daya-daya motivasional yang disebut dalam bahasa Jerman sebagai Triebe, yang dapat diterjemahkan sebagai insting, atau nafsu. Freud juga menyebutnya dengan kebutuhan. Penerjemahan dari kebutuhan menjadi keinginan ini disebut proses primer.

2.      Ego

Ego menghubungkan organisme dengan realitas dunia melalui alam sadar yang dia tempati, dan dia mencari objek-objek untuk memuaskan keinginan dan nafsu yang dimunculkan Id untuk mepresentasikan apa yang dibutuhkan organisme. Proses penyelesaian ini disebut proses sekunder. Ego berfungsi berdasarkan prinsip relitas, artinya dia memnuhi kebutuhan organisme berdasarkan objek-objek yang sesuai dan dapat ditemukan dalam kenyataan. Ego mempresentasikan kenyataan, dan sampai tingkat tertentu juga mempresentasikan akal.

3.      Superego

Ketika ego berusaha membuat Id (atau organisme) tetap senang, di sisi lain dia juga mengalami hambatan yang ada di dunia nyata. Catatan tentang segala objek dunia yang menghalangi dan mendukungnya inilah yang yang kemudian disebut superego. Prosesnya tidak akan pernah berakhir. Ada dua aspek superrgo yaitu:

    1. Nurani (conscience)

Merupakan internalisasi dari hukuman dan peringatan

    1. Ego ideal

Ego ideal berasal dari pujian dan contoh-contoh positif yang diberikan kepada anak-anak.

            Berpijak dari berbagai kenyataan psikologis diatas, maka fenomena absurd nampaknya adalah menjadi sebuah keniscayaan yang sangat dapat diterima. Berdiam dalam absurditas bukanlah sebuah mimpi ataupun fantasi, melainkan sebuah proses ekstraksi spirit yang begitu pribadi.

Aku sebagai inti eksistensi telah mengada sebagai pra-sel sebelum kemudian mentransendensikan diri menjadi ’receptiveself’ ’avective self’ individual self’ serta akhirnya ’trancedental self’, yang menjadi pengawas dari eksistensi manusia secara keutuhan. Keterpilahan antara aku yang diteliti dengan aku yang meneliti sering menggoda kita untuk mengakui adanya satu aku, yakni aku subjek, padahal dalam relasi hubungan aku subjek dan aku objek inilah kesadaran akan aku tumbuh. Sehingga hubungan fungsional aku subjek dan aku objek ini justru merupakan peluang bagi dinamika perkembangan manusia dari potensi menjadi aktualisasi. Kenyataan eksistensi bahwa ada sesuatu, baik eksistesi dalam dunia sekitarnya maupun eksistensi diriny sendiri dalam satu suku tertentu, merupakan suatu kekuatan pokok yang mempesonakan pikiran dan perbutannya. Manusia mencari asal mula eksistensinya peristiwa kehidupan (Prof. Dr. C.A. Van Peursen, 1998)

Esensi Individualisme adalah subjek transendental, atau dalam kerangka yang lebih teologis, dalam hubungan yang langsung individu dengan Tuhan (Bryan Turner, 2008)

Menurut George H Mead, Self (Diri) bagi Mead, kemampuan untuk memberi jawaban kepada diri sendiri sebagaimana ia memberi jawaban terhadap orang lain, merupakan kondisi-kondisi penting dalam rangka perkembangan akal budi itu sendiri. Dalam arti ini, Self sebagaimana juga Mind bukanlah suatu objek melainkan suatu proses sadar yang mempunyai beberapa kemampuan (Bernard Raho, 2007)

Mahzab Scolastik pada abad pertengahan di Eropa telah menandaskan, bahwa segala sesuatu itu ada, sejah itu ada, bersifat tunggal, benar, baik dan indah (omne ens unum, verum, bonum, pulchrum), artinya:

 

 

Tunggal: Menampakkan diri sebagai suatu kesatuan, ada kebulatan,   dalam diri sendiri; akal budi kita ada kecenderungan, untuk memandang segala sesuatu serba berkaitan.

Benar:    Dapat diraih oleh akal budi, ada nilai bagi akal budi untuk dikejar.

Baik:    Menghimbau pada kemampuan kita untuk dilaksanakan, ada nilai untuk   dilakukan dan dilaksanakan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. RUANG

 

Jika menjadi nihilisme itu dibenarkan, dalam batas sistem hegemoni yang tak bisa dipertahankan lagi , tindakan cemoohan dan kekerasan yang radikal ini, tantangan dimana sistem terpanggil untuk merespon menuju kematiannya sendiri, maka saya adalah seorang teroris dan nihilis dalam teori sebagaimana orang lain dengan senjatanya (Baudrillard, 1984:39)

Menurut Meyrowitz situasi sosial tidak terikat dengan lokasi fisik, dan sebagai akibatnya kategori sosial dan wujud normatif serta tempat interaksi kita menjadi kabur (James Lull, 1998)

Sebagaimana dikatakan Deleuze dan Guattari, ”..kami tidak puas lagi dengan gagasan imanensi sebagai imanen terhadap transenden kami ingin memikirkan transendensi didalam imanen, dan hanya dari imanensi percabangan dapat ditemukan. Imanensi yang dibebaskan dari relasi oposisi binernya denga transensden dan di dalam otonominya menyerap yang transenden ke dalam ruangnya-inilah yang disebut Deleuze dan Guattari bidang imanensi (plan of imanence), yaitu kesatuan utuh dari berbagai mesin konkrit maupun abstrak,- manusia, objek, alam, skema, aransemen, citra- yang secara bersama-sama membentuk MESIN BESAR konsep bidang imenensi ini dapat menjelaskan fenomena cyber space (Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, 2005)

 

 

 

 

 

  1. WAKTU

 

John McTaggart Ellis (1866-1925) berpendapat:

Kehadiran bukanlah sebuah dimensi yang bergerak, sepanjang rentetan kejadian, dari masa lalu menuju masa depan. Pendek kata fenomena yang terhampar—menurut McTaggart---didasarkan pada peristiwa-peristiwa masa depan yang menjadi hadir dan selanjutnya surut menjadi masa lalu. Karenanya semua peristiwa secara serentak dapat dianggap sebagai masa lalu, masa kini dan masa depan (Broad, 1933)

(Dani Cavallaro: 334)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

E.     ABSURDITAS DAN SIMULACRUM

 

Dalam wilayahnya yang paling murni, justru absurditas tidak perlu menyinggahkan dirinya dalam simulacra-simulacra, melainkan langsung lebur ke dalam bawah sadar, menjatuhkan dirinya pada keterjalan waktu, sepenuhnya.

Ada sebuah dialog absurd dalam sebuah buku Umar Kayam:

Dan sebagai lembu peteng cum priyayi, aku membayangkan seandainya Pak Ageng masih sugeng beliau tentu akan menatapku tajam-tajam dan bertanya ”Faham?”

Umar Kayam Luar Dalam (Jogya, 2002)

Semua kehidupan yang dijalani dalam suasana absurd yang kikir tidak akan mampu bertahan tanpa suatu pikiran yang dalam dan tetap, yang menghidupinya dengan kekuatannya. Bahkan itu pun hanya dapat berupa suatu rasa kesetiaan yang aneh. Kita telah melihat orang-orang yang dengan sadar melakukan tugas di dalam berbagai perang yang paling konyol tanpa merasakan suatu pertentangan batin. Itu karena masalahnya adalah tidak menghindar terhadap apapun. Dengan demikian terdapat kebahagiaan metafisik untuk menanggung absurditas dunia. Penaklukan atau permainan, cinta tak terhitung pemberontakan absurd, semua itu adalah penghormatan yang diberikan manusia kepada martabatnya dalam suatu pertempuran dimana ia sudah kalah sebelum mulai.

Masalahnya hanyalah tetap setia kepada aturan pertempuran. Pemikiran ini tentunya cukup untuk memberi kekuatan kepada suatu jiwa, karena telah dan masih  terus menjadi penopang banyak peradapan. Kita tidak menyangkal perang. Kita harus hidup dalam perang atau mati karena perang. Demikian pula yang absurd: kita harus bernafas dengan yang absurd, mengenali hikmah-hikmahnya dan menemukan wadaknya. Dalam hal itu, kebagiaan absurd yang terutama adalah penciptaan. “Seni, dan seni saja”, kata Nietzche, “kita memiliki seni agar tidak mati dalam menerima kebenaran”.

Dalam pengalaman yang saya coba uraikan dan terangkan untuk dirasakan dalam berbagai cara ini pasti timbul suatu kepedihan pada saat kepedihan lain lenyap. Usaha kekanak-kanakan untuk melupakan, untuk memanggil-manggil kepuasan, sekarang sudah tidak ada gemanya. Namun ketegangan konstan yang menahan manusia di hadapan dunia, luapan gairah teratur yang mendorongnya untuk menyambut segala-galanya, menciptakan demam lain dalam dirinya. Dalam alam semacam ini karya merupakan kesempatan satu-satunya untuk menjaga kesadarannya dan untuk menetapkan petualangan-petualangnnya. Mencipta adalah hidup dua kali. Percarian yang meraba-raba dan penuh semangat yang dilakukan orang seperti Proust, koleksi bunga-bungaannya sangat cermat, permadani-permadaninya, dan ketakutannya, tidak mempunyai makna lain selain itu. Pada saat yang sama jangkauannya hanyalah penciptaan yang berkelanjutan dan tak ternilai yang setiap hari dalam hidupnya dijalani olah pemain drama, penakluk dan semua manusia absurd. Semua berusaha meniru, mengulangi dan menciptakan kembali realitas milik masing-masing. Akhirnya kita selalu menemukan wajah dari kebenaran-kebenaran kita. Seluruh eksistensi, bagi seorang manusia yang berpaling dari keabadian, hanyalah suatu peniruan yang melampaui ukuran, di balik topeng absurditas. Penciptaan adalah peniruan besar.

Orang-orang itu pertama-tama mengetahui, kemudian semua usaha mereka adalah menjelajah, memperbesar dan memperkaya pulau tanpa masa depan yang baru saja mereka darati itu. Namun pertam-tama kita harus mengetahui. Sebab, penemuan absurd terjadi bersamaan dengan suatu jedah waktu, dimana nafsu-nafsu masa depan terkembang dan mendapat pengesahan. Bahkan orang-orang yang tidak memili langit turut memiliki saat-saat derita. Dalam penderitaan merekapun mereka kelak tidak boleh tertidur. Bagi manusia absurd, masalahnya bukan menjelaskan atau menyelesaikan masalah, melainkan merasakan dan memerikan. Semua dimulai dengan ketidakberpihakan yang jernih.

Memerikan, itulah ambisi terakhir pemikiran absurd. Ilmu pengetahuanpun bila tiba pada segala akhir paradoksnya, tidak mengajukan saran lagi dan berhenti untuk merenungkan dan melukis pemandangan yang bersih dari gejala-gejala. Begitulah hati kita mengetahui bahwa perasaan yang membawa kita ke hadapan wajah-wajah dunia tidak berasal dari kedalamannya melainkan dari keragamannya. Penjelasan tidak ada gunanya, namun perasaan tetap tinggal, dan bersamanya terdapat panggilan yang tak henti-hentinya dari suatu dunia yang tidak dapat ditimba habis dengan hitungan. Di sinilah kita ketahui tempat karya seni.

Karya seni sekaligus menandai kematian suatu pengalaman dan penggandaannya. Karya seni adalah seperti pengulangan monoton dan bergelora dari tema-tema yang sudah digubah oleh dunia: tubuh, gambar yang kekayaannya tidak pernah kering di bagian depan kuil, bentuk-bentuk atau warna-warna, bilangan atau kenestapaan. Jadi tidaklah tanpa arti untuk berhenti menemukan tema-tema utama esei dalam alam sang pencipta yang luar biasa indahya dan kekanak-kanakan. Kita keliru jika melihat seni sebagai lambang dan beranggapan bahwa karya seni akhirnya dapat dianggap sebagai tempat berlindung terhadap yang absurd. Karya seni itu sendiri adalah gejala absurd dan yang diperbincangkan adalah deskripsinya saja. Karya seni tidak menawarkan jalan keluar untuk penyakit pikiran. Sebaliknya, adalah suatu tanda atas penyakit itu yang memantulkannya pada seluruh pikiran manusia. Tetapi untuk pertama kalinya karya seni membuat pikiran keluar dari dirinya sendiri dan menempatkannya di hadapan pikiran lain, bukan agar lenyap, melainkan untuk menunjukkan dengan jari yang tepat jalan buntu yang harus dijalani oleh semua orang. Dalam kerangka waktu pemikiran absurd, penciptaan mengiringi ketidakberpihakan dan penemuan. Penciptaan menandai titik saat nafsu-nafsu absurd membumbung, dan saat penalaran berhenti. Demikianlah tempatnya disahkan dalam esei ini.

Akan cukuplah jika kita mengungkapkan beberapa tema yang terdapat baik pada para pencipta maupun pemikir untuk menemukan dalam karya seni semua kontradiksi pemikiran yang terlibat dalam absurditas. Sebenarnya kontradiksi-kontradiksi yang samalah yang membuat pemikiran-pemikiran itu berkerabat, bukan kesamaan kesimpulan-kesimpulannya. Demikian pula halnya pemikiran dan ciptaan. Saya hampir tidak perlu lagi mengatakan bahwa kepedihan itu pulalah yang mendorong  manusia untuk bersikap seperti itu. Di situlah keduanya muncul bersamaan. Tetapi di antara semua pemikiran yang bertolak dari absurditas, saya melihat bahwa amat sedikitlah yang bertahan pada absurditas. Dan dari penyimpangan serta ketidaksetiaan merekalah saya mengukur dengan lebih baik apa yang hanya dimilki oleh absurditas. Sejajar dengan itu, saya harus bertanya kepada diri saya sendiri: mungkinkah karya absurd itu?

Kita tidak pernah akan terlalu banyak menekankan sifat arbitrer dari pertentangan lama antara seni dan filsafat. Jika kita ingin mengartikannya secara terlalu cepat, pertentangan tersebut pasti semu. Jika kita hanya ingin mengatakannya bahwa kedua disiplin ilmu itu masing-masing mempunyai suasana yang khas, itu tentu benar, namun tidak jelas. Satu-satunya argumentasi yang dapat diterima terdapat dalam kontradiksi yang dikemukakan antara filsafat yang terkurung di tengah-tengah sistemnya dan seniman yang ditempatkan di hadapan karyanya, namun itu hanya berlaku untuk bentuk seni dan filsafat tertentu yang disini kita anggap sekunder. Gagasan mengenai sebuah seni yang dilepaskan dari penciptanya tidak hanya kuno, tetapi juga keliru. Berbeda dengan seniman, dikatakan bahwa tidak ada seorang filsuf pun yang menciptakan beberapa sistem. Tetapi hal itu benar sejauh tidak seorang seniman pun mengungkapkan lebih dari satu hal dalam berbagai wajah. Kesempurnaan seketika dalam seni, kebutuhannya akan pembaharuan, hanya benar karena diduga demikian saja. Sebab, karya seni juga merupakan suatu bentukan dan setiap orang tahu betapa para pencipta besar dapat membosankan. Seniman, seperti halnya pemikir melibatkan diri dan menjadi dirinya sendiri dalam karyanya. Peleburan itu menimbulkan masalah estetika yang paling penting. Lebih-lebih lagi tiada yang suatupun yang sia-sia daripada pembedaan-pembedaan berdasarkan metode dan objek bagiseorang yang yakin akan kesatuan antara tujuan pikiran. Tidak ada batas antara disiplin-disiplin ilmu yang dibuat manusia untuk memahami dan mencintai. Disiplin-disiplin ilmu tersebut saling meresapi dan ketakutan yang sama pulalah yang mencampurkannya.

Hal itu perlu dikatakan, sebagai permulaan. Agar suatu karya absurd dapat tercipta, harus dicampurkan dilamnya pikiran dalam bentuknya yang paling jernih. Tetapi pada waktu yang sama pikiran tersebut tidak boleh sama sekali muncul selain sebagai nalar yang mengatur. Paradoks itu dapat dijelaskan berdasarkan absurditas. Karya seni lahir dari penolakan akal budi untuk bernalar tentang yang konkret. Ia menandai kemenangan aspek jasmani. Pikiran jernihlah yang menimbulkan karya seni itu, tetapi dalam tindakan itu sendiri pikiran menyangkal dirinya sendiri. Ia tidak akan menyerah kepada godaan untuk menambahkan secara berlebihan satu arti yang lebih dalam pada apa yang dideskripsikannya, yang sepengatahuannya tidak sah. Karya seni menjelmakan suatu drama akal budi, tetapi ia hanya memberikan bukti tak langsung tentang drama itu. Karya absurd menuntut seorang seniman yang sadar akan batas-batas ini, dan suatu seni yang di mana yang konkret tidak mengungkapkan lebih dari dirinya sendiri. Ia tidak dapat menjadi tujuan, makna, ataupun penghiburan suatu kehidupan. Mancipta atau tidak mencipta tidak mengubah apapun. Pencipta absurd tidak terikat pada karyanya. Ia dapat meninggalkan karyanya, bahkan kadang-kadang ia memang meninggalkannya. Cukuplah suatu tempat untuk bermimpi.

Kita dapat melihat dalam hal itu sekaligus suatu aturan estetika. Karya seni yang sesungguhnya selalu sesuai dengan ukuran manusia. Karya seni sejati adalah yang secara hakiki mengatakan “kurang dari yang ada”. Ada semacam hubungan antara pengalaman menyeluruh seorang seniman dengan karyanya yang memantulkan pengalaman itu, antara Wilhelm Meister dan kematangan Goethe. Hubungan itu buruk bila karya itu bertujuan menuangkan semua pengalaman dalam buku mewah dari suatu kasusastraan yang bercorak menjelaskan. Hubungan itu baik jika karya itu merupakan satu potongan yang ditatahkan dalam pengalaman, satu faset berlian yang kilau dalamnya memancar tanpa terbatasi. Dalam kasus yang pertama, ada kelebihan muatan dan pretensi pada keabadian. Dalam kasus yang kedua, karya yang subur berkat adanya pengalaman tersirat yang kekayaannya dapat diduga. Masalah yang dihadapi seniman absurd adalah memperoleh savoir-vivre (seni hidup) yang melebihi savoir-faire (seni melakukan sesuatu). Sebagai penutup, sang seniman besar dalam suasana tersebut pertama-tama adalah un grand vivant (seorang yang sungguh mengetahui seni hidup); tentu saja di sini pengertian hidup adalah baik mengalami maupun berpikir. Jadi, karya merupakan penjelmaan dari suatu drama intelektual. Karya absurd menggambarkan penolakan pikiran terhadap gengsinya dan penyangkalannya untuk tidak menjadi lebih dari akal budi yang mendayagunakan penampilan lahiriah dan menutupi hal yang tak bernalar dengan gambaran-gambaran. Seandainya dunia jelas, seni tidak mungkin ada.

Di sini saya tidak membicarakan seni-seni bentuk atau seni warna yang dikuasai sepenuhnya oleh deskripsi dalam kesederhanaannya yang sangat indah ( menarik untuk diamati bahwa lukisan-lukisan yang peling intelektual, yakni yang berusaha menyusurkan realitas menjadi unsur-unsur dasarnya, hanya sedao dipandang mata. Yang tetap dipertahankannya dari dunia hanyalah warna). Pengungkapan mulai pada saat pikiran berhenti. Para remaja bermata kosong yang memenuhi kuil-kuil dan museum-museum---filsafat mereka telah diungkapkan dalam gerak-gerik. Bagi manusi, ia mengandung hikmah yang lebih banyak daripada semua perpustakaan. Dari segi yang berbeda, demikian halnya tentang musik. Seni yang tidak berisi ajaran, itulah musik. Musik terlalu mirip dengan matematika, sehingga ia mengambil juga sifat matematika yang bebas dari tujuan. Permainan nalar tersebut dengan dirinya sendiri menurut kaidah-kaidah yang disepakati dan terukur, berlangsung dalam ruang suara kita, dan dalam pada itu, di luarnya, getaran-getarannya bertemu dalam suatu alam yang tak manusiawi. Tiada perasaan yang lebih murni daripada itu. Contoh-contoh tersebut terlalu mudah. Manusia absurd mengenali keserasian-keserasian dan bentuk-bentuk itu sebagai miliknya.

Namun di sini saya ingin berbicara tentang sebuah karya yang memperlihatkan godaan paling besar untuk menjelaskan.dalam karya itu ilusi menampilkan dirinya sendiri dan konklusinya nyaris tak pernah keliru. Yang saya maksud adalah roman. Saya bertanya-tanya apakah yang absurd dapat bertahan dalam roman.

Berpikir adalah pertama-tama ingin menciptakan suatu dunia (atau membatasi dunianya sendiri, yang jatuhnya sama saja). Berpikir adalah berangkat dari ketidaksesuaian mendasar yang memisahkan manusia dari penglamannya untuk menemukan suatu wilayah persetujuan seusai dengan kerinduannya, suatu dunia yang terbingkai nalar atau diterangi berbagai analogi yang memungkinkan menguraikan perceraian yang tak tertanggungkan itu. Filsuf, Kant sekalipun, adalah pencipta. Ia mempunyai tokoh-tokoh, lambang-lambang, dan tindakan-tindakan rahasianya sendiri. Ia mempunyai penyelesaian-penyelasian juga. Sebaliknya, keunggulan roman terhadap puisi dan esei hanya menggambarkan suatu intelektualisasi seni yang lebih besar, apapun bentuk penampilannya, tepatnya ini terutama menyangkut karya-karya yang paling besar. Kesuburan dan kebesaran sebuah genre sering diukur dari sampah-sampah yang terdapat di situ. Banyaknya roman yang jelek tidak boleh membuat kita melupakan kebesaran roman-roman terbaik. Roman-roman terbaik itulah yang justru membawa alam mereka. Roman mempunyai logika, pemikiran intuisi, dan dalilnya sendiri. Roman mempunyai berbagai tuntutan kejelasan (menarik untuk diamati bahwa lukisan-lukisan yang paling intelektual, yakni yang berusaha menyusutkan realitas menjadi unsur-unsur dasarnya, hanya sedap dipandang mata. Yang dipertahankan dari dunia adalah warna).

Petentangan klasik yang saya bicarakan di atas semakin tidak dapat dibenarkan dalam kasus yang khas ini. Pertentangan itu mempunyai nilai dahulu ketika masih mudah memisahkan filsafat dai pengarangnya. Sekarang, ketika pemikiran tidak berpretensi universal lagi, ketika sejarahnya yang paling bagus adalah sejarah penyesalan, kita mengetahui bahwa sistem ini, bila berlaku, tak terpisah dari pengarangnya. Etika sendiri, dalam suatu aspeknya, tidak lebih dari suatu pengakuan yang panjang dan ketat. Akhirnya, pikiran abstrak menemukan dukungan jasmani. Demikian pula, permainan-permainan tubuh dan nafsu gaya romantis ditata dengan lebih mengikuti tuntutan-tuntutan suatu pandangan dunia. Pengarang tidak lagi menyampaikan “cerita”, tetapi menciptakan dunianya sendiri. Para pengarang roman yang besar adalah pengarang-filsuf, artinya, mereka bertolaj belakang dengan pengarang yang berpangkal pada suatu tesis. Seperti itulah misalnya Balsac, Sade, Melville, Stendhal, Dostoievski, Proust, Malraus dan Kafka.

Namun justru pilihan yang telah mereka ambil untuk menulis dalam gambaran dan bukan dalam penalaran, mengungkapkan suatu pikiran tertentu yang sama-sama mereka miliki, karena merasa yakin akan kesia-siaan segala prinsip penjelasan, dan karena merasa pasti akan daya pengejaran wujud-wujud yang ditangkap indera. Mereka memandang karya seni sekaligus sebagai suatu akhir dan suatu permulaan. Karya seni adalah hasil suatu filsafat yang tidak sering tidak terungkapkan, penggambarannya dan puncaknya. Tetapi karya seni hanya menjadi lengkap berkat adanya hal-hal yang tersirat dari filsafat itu. Karya seni akhirnya mensahkan suatu varian dari sebuah tema lama yang mengatakan bahwa sedikit pemikiran menjauhkan manusia dari kehidupan, tetapi banyak pemikiran justru mengembalikan manusia kepada kehidupan. Karena tak mampu menyublimasikan yang nyata, pikiran beranjak untuk menirunya. Roman yang dibicarakan adalah piranti pengetahuan yang sekaligus relatif dan tak kunjung habis itu, yang begitu mirip dengan cinta. Tentang cinta, penciptaan gaya romantis mempunyai ketakjuban dari mula dan permenungan yang kaya.

Itulah setidaknya prestise-prestise yang saya kenali di dalam roman pada permulannya. Namun saya juga mengenali prestise-presetise itu pada para penganut pemikiran terhina yang kemudian dapat saya amati bunuh dirinya. Hal yang jutru menarik perhatian saya adalah mengenal dan menggambarkan kekuatan yang membawa mereka kembali ke jalan umum, yakni jalan ilusi. Jadi, metode yang sama akan saya gunakan di sini. Karena metode itu telah saya gunakan, maka saya dapat mempersingkat penalaran saya dan meringkasnya dengan sebuah contoh yang tepat. Saya ingin mengetahui apakah dengan menerima hidup tanpa adanya panggilan kita dapat menyetujui juga untuk bekerja dan mencipta tanpa adanya panggilan, serta jalan manakah yang membawa kepada kebebasan-kebebasan itu. Saya ingin membebasakan dunia saya dari hantu-hantu itu dan memenuhinya semata-mata dengan kebenaran-kebenaran jasmani yang kehadirannya tak dapat saya sangkal. Saya dapat membuat karya absurd, memilih sikap kreatif dan bukan sikap lain. Tetapi suatu sikap absurd, agar tetap absurd, harus sadar akan ketidakterikatannya. Demikian pula karya seni. Jika perintah-perintah dari yang absurd tidak dipatuhi, jika karya seni tidak menggambarkan penceraian dan pemberontakan, jika ia mengabdikan diri kepada ilusi dan menghidupkan harapan, ia kehilangan ketidakterikatannya. Saya tidak dapat lagi melepaskan diri dari karya seni. Saya dapat menemukan arti di situ: hal itu tidak penting. Karya seni tidak lagi merupakan kegiatan tanpa keberpihakan atau kegiatan penuh gairah yang memuncaki kemegahan atau ketidakbergunaan hidup manusia.

Dalam mencipta, di mana godaan untuk memberikan penjelasan paling kuat, dapatkah kita mengatasi godaan itu? Dalam dunia fiktif, di mana kesadaran akan dunia real paling kuat, dapatkah saya tetap setia kepada yang absurd tanpa mengorbankan hasrat untuk menarik kesimpulan? Sebanyak itulah pertanyaan yang harus dihadapi dalam usaha terakhir. Kita telah mengerti apa yang dinyatakan oleh pertanyaan-pertanyaan itu. Itu adalah kebimbangan suatu kesadaran yang takut meninggalkan perlajarannya yang pertama dan yang sukar demi suatu ilusi yang paling mendasar.

Hal yang berlaku untuk penciptaaan, jika dianggap sebagai salah satu sikap yang mungkin dimiliki manusia yang sadar akan yang absurd, berlaku juga untuk semua gaya hidup yang ditawarkan kepadanya. Sang penakluk atau sang aktor, sang Pencipta atau Don Yuan dapat melupakan bahwa cara hidup mereka tidak dapat berlangsung tanpa kesadaran bahwa cara hidup tersebut tidak masuk akal. Kita membiasakan diri dengan begitu cepat. Kita ingin mendapat uang untuk hidup bahagia dan semua usaha serta kemampuan dipusatkan untuk mendapatkan uang itu. Kebahagiaan sendiri terlupakan, sedangkan sarana dianggap sebagai tujuan. Begitu pula, semua usaha sang penakluk akan hanyut menuju ambisi yang hanya merupakan jalan ke arah kehidupan yang lebih besar. Don Yuan sendiri akan meyetujui takdirnya, dan merasa puas dengan eksistensinya yang kebesarannya hanya mendapat nilainya berkat pemberontakan. Untuk seseorang perkaranya adalah kesadaran, untuk yang lain pemberontakan, tetapi dalam keduanya yang absurd telah menghilang. Ada begitu banyak harapan yang tegar dalam hati manusia. Manusia yang paling papa kadang-kadang akhirnya menyetujui ilusi. Persetujuan yang didekte oleh kebutuhan akan kedamaian itu adalah saudara kandung batiniah dari persetujuan eksistensial. Dengan demikian ada dewa-dewa cahaya dan patung-patung berhala dari lumpur. Namun jalan tengah yang membawa kita kepada wajah-wajah manusia itulah yang harus ditemukan.

Sampai di sini kegagalan-kegagalan terhadap tuntutan-tuntutan absurdlah yang paling baik dalam mengungakapkan apakah hal absurd itu. Demikian pula, untuk betul-betul menyadari, cukuplah bagi kita melihat  bahwa karya roman dapat menimbulkan ambiguitas yang sama dengan filsafat-filsafat tertentu. Jadi, sebagai ilustrasi, saya dapat memilih sebuah roman yang di dalamnya terangkum semuanya yang menandai adanya kesadaran tentang yang absurd, yang titik tolaknya jelas dan suasananya jernih. Konsekuensi-konsekuensinyalah yang akan berbicara kepada kita. Jika yang absurd tidak dihormati di situ, kita akan mengetahui melalui bias manakah ilusi masuh. Sebuah contoh yang tepat, sebuah tema, kesetiaan si pencipta, akan cukup memadai. Halnya adalah kajian yang sama dengan kajian yang sudah dilakukan sebelumnya secara lebih panjang dan lebar.

 

CIPTAAN TANPA HARI ESOK

 

Jadi saya melihat di sini bahwa harapan tak dapat dihindari untuk selamanya dan bahwa harapan justru dapat menyerang mereka yang ingin membebaskan diri darinya. Itulah manfaat yang saya temukan dalam karya-karya yang saya bicarakan sampai saat ini. Saya mungkin dapat menyebutkan, setidak-tidaknya dalam bidang ciptaan, beberapa karya yang benar-benar absurd, misalnya Moby Dick, karya Melville. Tetapi segala sesuatu memerlukan permulaan. Tujuan penelitian ini adalah suatu kesetiaan tertentu.

Gereja telah bersikap keras terhadap orang-orang bidaah semata-mata karena beranggapan bahwa tidak ada musuh yang lebih buruk daripada seorang anak yang sesat. Namun sejarah keberanian paham gnostik dan kelestarian aliran-aliran manikes (konsep pikiran dualis antara baik dan buruk) telah berdampak lebih banyak daripada semua doa dalam membangun dogma ortodoks. Dengan tetap menjaga proporsi, hal yang sama berlaku untuk yang absurd. Kita mengenali jalan kita karena mengetahui lorong-lorong yang menjauh darinya. Bahkan pada akhir penalaran absurd, dalam salah satu sikapnya yang dikendalikan oleh logikanya, bukanlah hal yang tak berarti bahwa kita menemukan kembali harapan yang ditampilkan lagi dalam salah satu wajahnya yang paling patetik. Itu menunjukkan kesulitan matiaga absurd. Itu tertutama memperlihatkan perlunya suatu kesadaran yang terpelihara tanpa henti dan masuk dalam kerangka umum esai ini.

Namun, kalaupun belum waktunya kita menyebutkan satu demi satu karya-karya absurd, setidaknya kita dapat menarik kesimpulan tentang sikap kreatif, salah satu sikap yang dapat melengkapi eksistensi absurd. Seni tidak dapat didukung dengan begitu baik kecuali oleh pemikiran negatif. Langkah-langkah pencariannya yang gelap dan terhina sama pentingnya untuk pemikiran sebuah karya besar seperti halnya warna hitam dibutuhkan oleh warna putih. Berkerja dan mencipta “bukan untuk apapun”, memahat tanah liat, mengetahui bahwa ciptaannya tidak dapat mempunyai masa depan, melihat karyanya dihancurkan dalam sehari dengan tetap sadar sepenuhnya bahwa hal itu tidak lebih penting daripada membangun untuk berabad-abad---itulah kebijaksanaan sulit yang diwajibkan oleh pemikiran absurd. Melaksanakan dua kewajiban besama-sama, yakni menyangkal di satu pihak dan mengagungkan di lain pihak----ituah jalan yang terbuka bagi pencipta absurd. Ia harus memberikan warna kepada kekosongan.

Hal tersebut mengakibatkan suatu konsepsi khusus tentang karya seni. Orang terlalu sering menganggap sebuah karya dengan seorang pencipta sebagi serangkaian kesaksian lepas. Dengan demikian seniman dicampuradukkan dengan sastrawan. Suatu pemikiran yang dalam berada dalam pembentukan secara berkelanjutan, melebur dalam pengalaman suatu kehidupan dan membentuk diri di dalamnya. Begitu pula ciptaan unik seorang manusia menguat di dalam  wajah-wajahnya yang berturut dan beragam, yakni karya-karyanya. Karya yang satu melengkapi karya-karyanya yang lain, membetulkan atau mengejar kekurangannya, juga menyangkalnya. Jika karena sesuatu ciptaannya berakhir, yang terjadi bukan teriakan kemenangan dan khayali dari sang seniman yang silau: “aku telah mengataknnya semua”, melainkan kematian sang pancipta yang menutup pengalaman dan kitab kejeniusannya.

Usaha itu, kesadaran yang melebihi kesadaran manusia itu, tidak tentu terlihat oleh pembaca. Tidak ada misteri dalam ciptaan manusia. Niatlah yang membuat keajaiban itu. Namun setidak-tidaknya tidak ada ciptaan sesungguhnya yang tidak memiliki rahasia. Tentu saja sederetan karya dapat sekedar merupakan rangkaian usaha pendekatan terhadap pemikiran yang sama. Namun dapat dipikirkan satu jenis lain pencipta yang bekerja dengan menjajarkan. Karya-karya mereka mungkin kelihatan tidak mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Dalam batas tertentu karya-karya tersebut saling bertentangan. Namun bila karya-karya itu diletakkan kembali sebagai satu keseluruhan, karya-karya itu memperlihatkan urutan yang serasi. Jadi, dari kematianlah karya-karya itu memperoleh makna definitifnya, menerima cahayanya yang paling terang dari kehidupan pengarangnya sendiri. Pada saat itu rangkaian karya-karyanya hanyalah sekumpulan kegagalan. Namun jika semua kegagalan itu mengandung tema yang sama, maka sang pengarang telah mampu mengulangi gambaran kondisinya sendiri, telah mampu memantulkan rahasia gersang yang dimilikinya.

Usaha untuk menguasai dalam hal itu sungguh luar biasa. Namun akal budi manusia dapat mencapai yang lebih hebat lagi. Akal budi hanya mengungkapkan segi kehendak dari penciptaan. Di lain tempat saya menegaskan bahwa karsa manusia tidak mempunyai tujuan lain selain untuk menjaga kesadaran. Namun hal itu tidak akan dapat berjalan tanpa disiplin.

Dari semua aliran ajaran tentang kesabaran dan kejernihan pikiran, penciptaan adalah yang paling mujarab. Penciptaan juga merupakan kesaksian yang membingungkan atas satu-satunya martabat manusia: pemberontakan yang gigih melawan kondisinya, ketabahan dalam suatu usaha yang dianggap sia-sia. Penciptaan menuntut usaha setiap hari, pengendalian diri, penilaian yang tepat terhadap batas-batas kebenaran, ukuran dan kekuatan. Penciptaan merupakan suatu matiraga. Semua itu “bukan untuk apa-apa”, untuk mengulang-ulang, untuk berjalan selangkah demi selangkah. Tetapi sebuah karya seni yang besar mungkin tidak mempunyai bobot yang lebih besar dalam dirinya sendiri daripada di dalam cobaan yang dituntutnya dari seorang manusia dan dalam kesempatan yang ia berikan kepadanya untuk mengatasi hantu-hantunya dan menghampiri sedikit lebih dekat lagi kenyataannya yang telanjang.

Semoga uraian ini tidak disalahtafsirkan dengan estetika. Yang saya paparkan ini bukan suatu penjelasan yang sabar, atau ilustrasi berkepanjangan dan sia-sia dari sebuah tesis. Justru sebaliknya, jika maksud saya ditangkap dengan jelas. Roman bertesis, suatu karya yang bertujuan membuktikan sesuatu, roman yang paling memuakkan, adalah karya yang paling sering diilhami oleh suatu pemikiran yang  puas. Kebenaran yang dikira dimiliki---itulah yang dibeberkan. Namun itu adalah ide-ide yang dijalankan, dan ide adalah lawan dari pemikiran. Pencipta-pencipta itu adalah filsuf-filsuf yang memalukan. Sebaliknya, orang-orang yang saya bicarakan dan saya bayangkan itu adalah pemikir yang jernih. Pada suatu titik tertentu, ketika pikiran melihat kembali pada dirinya, mereka membuat kembali gambaran-gambaran tentang karya mereka sebagai lambang-lambang yang jelas dari suatu pemikiran yang terbatas, fana dan memberontak.

Mungkin pemikiran-pemikiran itu membuktikan sesuatu. Namun, para pengarang roman lebih memberikan bukti-bukti itu kepada diri mereka sendiri daripada menyediakannya. Yang penting adalah bahwa mereka menang dalam dalam hal yang konkret, dan bahwa itu adalah kebesarannya. Kemenangan yang bersifat jasmani itu telah dipersiapkan oleh suatu pemikiran dimana kekuasaan-kekuasaan abstrak telah direndahkan. Ketika mereka direndahkan sepenuhnya, yang jasmani seketika menjadikan ciptaannya bersinar-sinar dengan seluruh kilau absurnya. Para filsuf ironislah yang membuat karya-karya penuh nafsu.

Semua pemikiran yang menolak kesatuan mengangungkan keragaman. Dan keragaman adalah tempat seni. Satu-satunya pemikiran yang membebaskan jiwa adalah pemikiran yang membiarkan jiwa sendirian, dengan keyakinan akan batas-batasnya dan akhir yang pasti datang. Tidak ada satu doktrin pun yang memaksanya. Ia menunggu kematangan karya dan hidupnya. Terlepas dari penciptanya, karya akan memperdengarkan sekali lagi suara yang nyaris tak terdengar dari jiwa yang untuk selamanya terbebas dari harapan. Atau karya itu tak akan memperdengarkan apa-apa,  jika sang pencipta, karena bosan dengan permainannya, ingin berpaling. Itu sama saja.

Begitulah saya meminta kepada ciptaan absurd apa yang saya tuntut dari pemikiran, yaitu pemberontakan, kebebasan, dan keragaman. Setelah itu ciptaan absurd akan memperlihatkan ketidakbergunaannya. Dalam usaha sehari-hari itu, saat akal budi dan nafsu berbaur dan saling mengobarkan, manusia absurd menemukan suatu disiplin yang akan menjadi inti kekuatannya. Dengan demikian, ketekunan yang diperlukan, kegigihan dan kejernihan pikiran bersatu dengan sikap penakluk. Dengan demikian menciptakan adalah memberikan bentuk kepada jalan hidupnya. Bagi semua tokoh itu karya mereka menentukan diri mereka sendiri, setidak-tidaknya sebesar karya itu ditentukan oleh tokoh-tokoh itu. Sang aktor drama mengajarkan itu kepada kita: tidak ada batas antara yang tampak dan keberadaannyasendiri.

Sebaiknya kita ulangi. Tidak ada satu pun dari semua itu yang mempunyai arti nyata. Di jalan kebebasan ini, masih ada kemajuan yang harus dilakukan. Usaha terakhir untuk nalar-nalar yang berkerabat itu, yang mencipta atau yang menaklukan, mampu juga untuk membebaskan diri dari usaha-usaha mereka: mampu mengakui bahwa bahkan karya itu sendiri, apa pun adanya---baik penaklukan, cinta atau ciptaan—dapat saja tidak ada: dengan demikian menuntaskan ketidakbergunaan mendalam dari segala kehidupan perorangan. Hal itu bahkan memberikan lebih banyak kemudahan kepada mereka untuk mewujudkan karya itu, sebagaimana melihat absurditas hidup memungkinkan mereka untuk terjun ke dalamnya dengan semua eksesnya.

Yang selebihnya adalah takdir, di mana satu-satunya jalan keluar adalah maut. Di luar satu-satunya fatalitas kematian ini, semua saja---baik kegembiraan atau pun kebahagiaan –adalah kebebasan. Tetap ada satu dunia, dan manusia adalah satu-satunya majikannya. Yang menghubungkannya adalah ilusi dari satu dunia lain. Nasib pikirannya bukan lagi menyangkal diri, melainkan meloncat ke dalam gambaran-gamabaran. Nasib tersebut dilangsungkan---tentu dalam mite-mite—tetapi dalam mite-mite tanpa kedalaman lain selain dalamnya kepedihan manusia, dan tak ada habisnya, seperti kepedihan itu sendiri. Bukanlah dongeng ilahi yang menyenangkan dan menyilaukan, melainkan wajah, gerakan dan drama manusiawi yang merupakan rangkuman suatu kebijaksanaan yang sulit dan suatu nafsu tanpa hari esok.

 

METAFORA ABSURDITAS

 

Memahami local genius sedianya seperti membaca sebuah ritus agung. Dalam hal ini wacana absurditas banyak ditemukan juga di dalam serat-serat Jawa kuno. Salah satu diantara banyak serat itu adalah serat Pustoko Rojo Purwo. Ada sebuah penggalan yang menarik untuk diamati dari sisi diam dalam absuditas:

            “Segeralah kemari Melaya. Masuklah dalam rahimku”. Syekh Melaya terkejut hatinya, berkata dengan tertawa. Dengan tertawa dia berkata pelan. “Bagaimana mungkin, paduka kecil sekali, hamba tinggi besar. Pasti tidak cukup. Melaui mana jalan hamba masuk. Tidak bisa?”

            Baginda Khidir berkata pelan, “Besar mana kamu dengan dunia, dengan samudra yang luas, gunung dan seluruh hutan-hutannya, seluruh ini seisinya, tidak sesak masuk ke dalam rahimku”. Syekh Melaya sewaktu mendengar agak ketakutan dalam menjawabnya. Sang Marbudengrat memiringkan kepala.

“Ini melalui telinga kiriku”. Syekh Melaya lalu segera masuk, telah sampai dalam tubuhnya. Melihat samudra yang jauh tiada bertepi. Dia berjalan menerawang, lelap jauh yang dilihat. Baginda Khidir berseru, “Apa yang kelihatan olehmu?”. Syekh Melaya berkata pelan, “Jauh tidak ada yang tampak”.

Hanya kosong yang hamba lihat, jauh tidak terhingga. Kemana hamba berjalan, melihat samudra yang luas tak bertepi. Hamba berjalan menerawang, hanya kejauhan yang terlihat. Hamba tidak melihat apa-apa, sangat bingung”. Baginda Khidir berkata “Jangan ragu hatimu”.

Tiba-tiba baginda Khidir kelihatan. Syekh Melaya melihat baginda Khidir, tampak bersinar cahayanya. Segera dia melihat utara, selatan, barat, timur, atas, bawah, dan melihat matahari. Lega hatinya karena Khidir mewujud dalam alam jagad yang nyata.

Khidir berkata pelan, “Jangan berjalan, lihatlah olehmu, apa yang terlihat?”. Syekh Melaya menjawab pelan, “Ada warna tiga macam yang kelihatan oleh hamba. Semua itu telah tidak kelihatan. Hanya empat macam yang kelihatan: hitam, merah, kuning, dan putih”.

Khidir berkata, “Yang pertama kau lihat sebagai cahaya yang bersinar yang tidak kamu ketahui namanya adalah pancamaya, yaitu hati sejati, inti ragamu. Artinya hati adalah sifat yang utama. Yang menuntun kepada sifat luhur, yakni sifat yang sejati.

Perhatikanlah warna itu jangan takut. Kuasa hatimu renungkan dalam pikiran, tandailah kesejatian”. Syekh Melaya sewaktu mendengar demikian puas hatinya, dia tersenyum girang. “Adapun yang merah, hitam, kuning, dan putih, itu bahaya hati.

Isinya memenuhi jagad, yakni hati yang tiga macam, yang membatalkan segala laku. Tak bisa memisahkan itu, itu kesatuan hati. Itu musuh bertapa. Ketiga hati hitam, merah, kuning, semua itu menghalangi cipta dan karsa, perbawa Suksma Mulia”.

Apabila tidak terjebak kepada tiga hal itu, sungguh jadilah kesatuannya badan. Lestari dalam manunggalnya. Maka hendaklah selalu awas dan ingat terhadap bahaya hati. Kekuatannya satu persatu ketahuilah. Yang hitam lebih perkasa. Perbuatannya marah dan semacamnya, mengumbar hawa nafsu.

Demikian hati yang menghalangi, yang menutupi kebajikan, itulah pekerjaan si hitam. Sedangkan yang merah juga menunjukkan nafsu yang tidak baik. Segala keinginan keluar dari situ, panas hati dan dengki, menutupi hati dari kewaspadaan.

Adapun yang berwarna kuning, menghalangi seluruh cipta yang mengarah pada kebaikan. Niat yang baik dihalangi si kuning, hanya membuat rusak. Hanya satu warna putih itu yang nyata-nyata mendorong kepada keutamaan dan keselamatan.

Hanya orang yang bisa menerima tanda rupa sejati, yang akan menerima anugrah-Nya. Yang dapat menghayati kesatuan cipta. Ketiga warna itu musuhnya. Ketiga warna itu kuat-kuat, bala pasukannya tiada terbilang. Yang putih tak berteman, hanya sendiri, sehingga selalu kalah.

Setelah musnah yang empat hal tadi, muncul satu cahaya delapan warna yang kelihatan oleh hamba sekarang. Apakah namanya itu, satu cahaya delapan warna? Manakah yang nyata, rupa wujud sesungguhnya? Ada yang bagaikan permata bersinar, ada yang bagaikan mutiara berkilau-kilauan menakjubkan, ada yang bagaikan zamrud bersinar menakjubkan”.

Khidir berkata pelan, “Ya itulah kesatuan yang sesungguhnya. Seluruh warna artinya. Seluruh warna itu ada pada kamu. Isi bumi juga tergambar pada ragamu. Jagad besar dengan jagad kecil tidak ada bedanya. Demikianlah, sehingga ada utara, selatan, timur, atas, dan bawah.

Hitam, merah, kuning, dan putih, demikian kehidupan dunia. Jagad kecil jagad besar seluruh isinya sama dibandingkan dengan kamu. Bila warna itu hilang, jagad seluruhnya ini menjadi kosong. Seluruh warna tidak ada, terkumpulkan kepada warna sejati, tidak laki-laki tidak juga perempuan.

Seperti tawon gung warna-warni, tampak seperti boneka mutiara, yang berkilat cahayanya. Benda bagaikan boneka gading itu memancarkan cahaya berkilat. Sinarnya indah bagaikan pelangi. Syekh Melaya berkata, “Apakah ini warna yang sedang kucari, warna yang sejati?”

Khidir berkata pelan, “Itu bukan warna yang kamu cari. Yang menguasai segalanya tidak dapat kam lihat, tiada berwujud, tiada berwarna, tiada berbentuk, dan tidak kasat mata, juga tiada bertempat. Hanya yang awas saja yang tahu tempatnya. Tapi tanda kekuasaannya memenuhi dunia, dipegang tidak dapat.

Sedangkan yang kamu lihat seperti boneka mutiara, yang cahayanya berkilat menyala-nyala indah namanya Yang Permana. Dia yang mengidupkan badan. Permana itu menjadi satu dengan badan, tidak dapat dipisahkan. Dia satu tempat dengan kamu.

Dia tak ikut makan, tidur dan tak ikut sedih serta susah. Jika Permana itu pisah dengan tubuh, tubuh itu lunglai tak berdaya. Badanlah yang mampu menanggung rasanya. Permana hidup olah Suksma. Permana diberi anugrah dan memiliki hidup, disebut rasa.

Demikian yang ada pada kamu. Bagaikan simbar di pepohonan, Permana bertempat di raga. Hidupnya oleh Suksma Yang Lebih. Dia menguasi raga. Permana itu, bila orangnya meninggal ikut lesu. Bila Suksma itu hilang badan ini lemas. Hidupnya karena Suksma.

Suksma pergi meninggalkan raga, tinggalah hidup Suksma yang sesungguhnya. Tubuh bagaikan tempat lewat. Demikian itu seperti makan buah kepundung. Permana itu pertanda adanya Yang Tunggal sesungguhnya. Sang Syekh Melaya berkata “Manakah warna yang sejati?”, Khidir menjawab: “Itu tidak dapat bila diupayakan dengan keadaan yang kasat mata. Cara mencarinya gampang susah”. Syekh Melaya berkata pelan “Hamba mohon wejangan lagi. Hamba harus tahu sampai tuntas. Hamba berserah diri. Hamba memohon hal yang semestinya, jangan sampai hanya sia-sia

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

GILDA ASTENIA publising  
   
amadtattoo 
 
amadtattoo

AHMAD JUNAIDI lahir besar di sukoharjo, 01 januari 84 kebetulan, kita orang miskin boss. hidup dari harapan. dan keinginan untuk maju. dan jujur.... fatalis itulah kawan setia ku!!!!
 
hobi & kerja  
  ngrobek buku apa saja, juga mancing!!!
...
wuh keren, kemarin dapat lele+nila...

cari uang dari apa aja yang halal.
OFFICE BOY IS MY LIFE

-----

ampun pak dosen ampun pak rektor jangan disulitkan dispensasiku, telat mbayar ini.....wekekekeke.......andai saja virus itu laku dijual, dan andai saja aku seorang PENJAHAT!!! hik hikhik....(dibaca seperti orang nangis)
-----------------------
INGINNYA CEPET LULUS
===================
lha wong estimasi ternyata meleset set set set...!!!
 
UP TO DATE TUAN...NYONYA...  
  :semoga nyala yang ada dalam dada ini tetap ada, nyala petarung!!! kehalusan dalam membunuh, karena mereka memang lah musuh-musuhku!!!!
====================================================
ternyata dalam rasi bintang layang-layang pada jam 3 dini hari kutemukan air mataku kembali....
kawan-kawan..kalianlah yang terbaik!!!!!
=====================================================
SSSSSSSSSSSSSSSSSStttttttttttttttttt....
ada yang lain tapinya.....EDENSOR!!!!!!
=====================================================
hi...AULIA......(ah hari ini kau bukan sesuatu yang pantas kuberi tepukan.....)
i want to know you..

untuk bisa lebih mengerti tentang......siapa kita...
thanks and sorry
========================

ada yang salah faham. sial!!!!!!!!!! but, i don't care about thatt!!! not my false...........
=========================
for Tokyo: PAk Bos (hari gendur) nanti pulang aku jadi karyawanmu wae

============================

hi............
wah ah ah ah ah, situ kuliah dapat apa, pelajaran tak mengajari kita jadi pintar, SIAL kalian tertipu identitas murahan. mahasiswa!!!! mereka bukan siapa, mereka hanya suka mengembik minta uang pada ortu, kemudian dipakai pacaran. anjing!!!! setiap ada kesalahan mereka berbondong turun ke jalan seperti pahlawan, tapi mereka lupa bahawa hidup adalah harus DIKERJAKAN!!!!! pura-pura jadi seniman, satrawan, budayawan, orang sopan, cik...lidah mereka pakai topeng. kemarin kulihat seorang suami melindungin istri dan anaknya dari orang jahat!!! dialah PAHLAWAN itu, sedang mereka yang mengaku sekolah tinggi .... siapa yang mereka lindungi????????????? KONYOLLLLL!!!

========================================

apa benar kita akan sampai pada apa yang kita ingini? Ah rasanya tidak!! terbentur pada persolan "ternyata aku menyukainya....". what we have to DO? mampus, aku tak punya fee sama sekali hari ini. dia bilang ia lapar, ampuuuuuun. aku tidak bisa membahagiakanmu.....terus IBUNDA tercinta? BEliau dirumah menungguku, menunggu ksatrianya pulang. YA, aku tak mamu SUSU ANLENE GOLD untuk ibuku berubah jadi sepotong roti cinta untuk manusia wanita seperti yang (sebertulnya ingin kumiliki).........ah KONYOL.
==================================
WAHAHAHA............
AKU MABUK LAGI!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
ADA CODING GILA!!!!
=====================================
Pro: Pak Budi, S.Sn, M.Sn.
ada banyak terima kasih yang harus saya sampaikan.
dan kukira aku tak mampu mengatakannya.
scizofrenia, hal itu telah membunuhku.

==================================

To: Tokyo (Harry San)

Im waiting for NOTEBOOK..
I always dream it at all breath.....

=================================

DALAM PADA INI.
adalah sesuatu yang tengah bertanya, apakah?
kalaupun perjalanan itu, menjadi sebaris pertanyaan,
apakah iya segala sesuatu harus mesti dijawab.
TIDAK.
kebosanan terlalu akut dan meradang.
siapa engkau, siapa saya, siapa mereka, siapa yang kau ingini?
aku terbahak.
orang tolol mengemudikan sebuah hal.
mereka beri nama "cinta"!!!
anjing, aku tak bisa menerima.
sebab diriku terlampau kaku akan hasrat berduaan,
bakar saja kertas dan semua puisimu, tentang yang kau namai cinta!!!!!
sebab mataku terlanjur tak mampu melihat lagi kata itu!!!!
====================================================
 
sekolah  
  SMU NEGERI SATU KOTAKU
but, persetan dengan kesenian dan kebuadayaan
mereka hanya mengeksploitasi kesedihan dan peperangan, kemudian dijadikan jadi karya....sial, mereka kejam.
==============================
ada banjir, kemudian mereka memotretnya lewat kamera dan ingatan. lalu, berbondong-bondong orang pameran. menyuguhkan kesedihan. ANJING~
===============================
TA (tanpa akhir)
antara hidup dan mati. viva omong kosong!!!!
 
Today, there have been 3 visitors (5 hits) on this page!
WE NEVER KNOW TILL WE LOOKING FOR... This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free