Terlampaui dan mungkin selesai. Belum lama, kala dini hari, di dalam kamar dengan lampu buram yang setengah terpicing menyalakan terang untuk menusuk makna dalam buku-buku yang kubaca. Berdiri, dengan sunyi aku mendatangi cermin oval disamping almari kayu tinggalan Bapak.

Mata untuk mata, tatapan untuk tatapan. Bungkam, kepala dan hatiku menyala. Dengan ngilu aku bergumam pada wajahku yang terpojok di depan:

‘Hei..kamu, bisakah kau bangun sejenak, untuk benar-benar mendengarkan mulut dari hatimu sendiri ini. Tidakkah engkau lihat mata itu, mata dalam cekung matamu. Wajah dalam pantulan wajahmu, dirimu sendiri ini.

Bersediakah engkau untuk berjanji, nanti, suatu saat kelak, rokok murah yang kau pegang ini, akan berubah menjadi cerutu impor seharga lima juta perbatangnya. Tidak, jangan malu, dengar dulu, rampungkan dulu menangkap maksudku….

Jika kelak harus terpaksa menemukan diri yang lain untuk dirimu, berjanjilah untuk membawakan untukku, dirimu sendiri ini, sebuah diri yang mengerti dan sanggup menanggung makna hidup. Engkau tidak sendiri, ada aku, aku, aku yang bukan mereka yang sering mendustaimu dengan penerimaan yang setengah-setengah..yakinlah itu, yakinlah itu…

Tak perlu kau risau, jika sekarang kau bercermin sendirian dan hanya menerima citra lugu kesendirianmu, maka kelak, kau dengan cermin ini pula, akan kau lihat wajah sendu, yang selalu tak bisa kau tinggalkan, yang selalu menantimu, meski hanya sekedar kau tinggal untuk menutup pintu dan jendela, ia, belahan jiwamu yang akan menjadi tanganmu jika kau harus memeluknya, ia yang akan menjadi hangatmu, jika kau ingin mengusir dinginnya..ia yang akan menjadi engkau dalam segala….yakinlah itu…dan sekarang hisaplah rokok murahmu itu…buka mata dan buku-bukumu kembali, sapalah lampu kamarmu yang redup itu, ajak dia mengarungi luasnya dunia, meski hanya dari sudut kamarmu….”